BUSERJATIM GROUP –
Jakarta – Direktur Eksekutif Lingkar Madani Indonesia, Ray Rangkuti menyoroti kewenangan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang dapat mengevaluasi secara berkala pejabat negara yang melewati uji kelayakan dan kepatutan di DPR.
Artinya pejabat negara seperti Komisioner dan Dewan Pengawas KPK, Hakim MK dan MA, Kapolri hingga Panglima TNI.
Semuanya bisa direkomendasikan untuk diberhentikan alias dicopot.
“Alasan karena pejabat yang dimaksud adalah pejabat yang ikut serta diseleksi oleh DPR juga tidak kuat. Mengapa? Karena kewenangan DPR ikut serta memilih pejabat negara adalah kewenangan atributif. Yakni kewenangan tambahan atas dasar ketentuan UU di luar UU yang mengatur wewenang dan tugas DPR (MD3),” kata Ray, Rabu (5/2/205).
Justru dinilainya yang menjadi masalah utama adalah mengapa seleksi pejabat negara melibatkan DPR yang dalam tugas pokok dan wewenangnya tidak diatur.
“Hal ini justru yang perlu dievaluasi oleh DPR. Masihkah pemilihan pejabat negara harus melibatkan DPR? Sejauh mana manfaat melibatkan DPR dalam proses seleksi pejabat negara? Dan apakah cocok dengan sistem presidensial yang kita anut,” tanyanya
Berdasarkan sistem presidensial, kata Ray, semestinya pemilihan pejabat negara sepenuhnya diserahkan kepada eksekutif.
“DPR hanya berfungsi mengawasi tata cara pemilihan tersebut. Bukan ikut serta memilihnya. DPR yang ikut cawe-cawe urusan pemilihan pejabat negara hanya dikenal dalam sistem parlementer,” terangnya.
Maka, lanjutnya jika akhirnya DPR diberi wewenang dan tugas mencopot pejabat negara.
“Maka kita berada dalam sistem yang serba tidak jelas dan pasti. Tentu saja, akan banyak ketidaksesuaian tata kelola pemerintahan dalam sistem yang acak kadul,” jelas Ray.
Dan lebih acak kadul lagi, lanjutnya aturan pencopotan itu cukup dibuat dalam tatib DPR.
“Seleksi dan pemilihan pejabat negaranya diatur melalui UU. Mencopotnya cukup diatur oleh Tatib DPR. Sejak kapan tatib DPR mengikat pihak di luar apalagi bersifat perintah. Tatib DPR itu, sejatinya, hanya mengikat anggota DPR. Namanya saja tatib DPR. Bukan tatib bernegara,” tandasnya.
Perwakilan Rakyat atau DPR merevisi kilat Peraturan DPR Nomor 1 Tahun 2020 tentang Tata Tertib, yang salah satunya membuka ruang bagi DPR untuk mengevaluasi secara berkala pejabat negara yang telah mereka pilih. Hasil evaluasi ini nantinya bisa berujung pada rekomendasi pemberhentian.
Perubahan aturan tersebut dinilai sangat fatal dan merusak ketatanegaraan karena seharusnya Peraturan Tata Tertib DPR hanya bisa mengatur lingkup internal.
Usulan merevisi Peraturan DPR Nomor 1 Tahun 2020 tentang Tata Tertib (Tatib) datang dari Mahkamah Kehormatan DPR (MKD), Senin (3/2/2025). MKD mengusulkan agar ada penambahan satu pasal dalam revisi Tatib DPR, yakni Pasal 228A.
Pasal itu berbunyi, dalam rangka meningkatkan fungsi pengawasan dan menjaga kehormatan DPR terhadap hasil pembahasan komisi, DPR dapat melakukan evaluasi secara berkala terhadap calon yang telah ditetapkan dalam rapat paripurna DPR.
Hasil evaluasi itu bersifat mengikat dan disampaikan oleh komisi yang melakukan evaluasi kepada pimpinan DPR untuk ditindaklanjuti sesuai dengan mekanisme yang berlaku.
Pada hari yang sama, pimpinan DPR langsung menggelar rapat Badan Musyawarah (Bamus) untuk menentukan pembahasan revisi Tatib DPR di Badan Legislasi (Baleg) DPR. Di Baleg DPR, pembahasan revisi Tatib DPR itu tuntas hanya kurang dari 3 jam dan seluruh fraksi partai politik menyetujui perubahan Tatib DPR. Revisi Tatib DPR itu kemudian disahkan dalam Rapat Paripurna DPR pada Selasa (4/2/2025) siang.
Dengan disahkannya revisi Tatib DPR tersebut, kini semua pejabat negara yang ditetapkan dalam rapat paripurna DPR bisa dievaluasi oleh DPR, termasuk pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), hingga hakim Mahkamah Konstitusi (MK) dan hakim Mahkamah Agung (MA).
Wakil Ketua DPR dari Fraksi Partai Gerindra Sufmi Dasco Ahmad, saat ditemui seusai Rapat Paripurna DPR, mengungkapkan, tujuan penyisipan satu pasal dalam Tatib DPR itu hanya penegasan dari fungsi pengawasan yang selama ini sudah dilakukan DPR terhadap mitra-mitra kerjanya
Melalui perubahan Tatib DPR itu, DPR juga ingin menegaskan kembali bahwa dalam keadaan tertentu, hasil uji kelayakan dan kepatutan (fit and proper test) yang sudah dilakukan DPR bisa kemudian dievaluasi secara berkala, dengan dalih untuk kepentingan umum.
Dasco tak menutup kemungkinan para pejabat negara bisa saja diberhentikan sewaktu-waktu apabila dianggap tidak lagi mampu menjalankan tugasnya dengan baik.
Misalnya, pejabat tersebut dalam kondisi sakit.
Nantinya, DPR berwenang mengajukan rekomendasi untuk melakukan uji kelayakan dan kepatutan kembali kepada pejabat negara tersebut.
“Nah, ini, kan, kemudian kami harus lakukan fit and proper test, apakah yang bersangkutan itu masih dapat menjalankan tugasnya dengan baik. Nah, kalau tidak, kan, kami harus kemudian lakukan mekanisme agar yang bersangkutan dapat digantikan oleh yang lebih layak dalam menjalankan tugas-tugas negara” tutur Dasco.
[ elangbali ]